Rabu, 06 Mei 2009

Gitar Klasik, …

Mungkin ada yang merasa (paling tidak saya, hmm..) kalau judul di atas seharusnya bisa lebih panjang, minimal ada sederet kata lagi setelah tanda koma. Tadinya saya ingin membubuhkan satu-dua kata yang mungkin sedikit mengundang rasa ingin tahu orang, seperti … “Gitar klasik, klasik kah?” atau “Gitar klasik, pandangan seorang awam”, dan lain-lain.

Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, contoh judul itu bisa melenceng dari yang ingin saya tulis dan bisa jadi terlalu “besar” untuk tulisan kecil ini. Jadi judulnya demikian saja, kata-kata setelahnya (kalaupun ada) orang-orang bisa memiliki rasa masing-masing. Toh, saya sendiri sedang belajar merasakan, sebenarnya. Jadi saya mau menulis ngalur-ngidul saja.

b6fcc_classical-guitar-podcast

Pertama kali melihat seorang performer gitar klasik beraksi, yang langsung membuat saya terpesona adalah sikap santunnya terhadap komposisi yang dia bawakan. Begitu syahdu, seolah dia menjerat dirinya sendiri dalam satu spektrum waktu yang di dalamnya hanya ada dia, musik, dan atas obyek apa musik komposisi tersebut ditujukan. Lantas kita (saya) pun ikut terhanyut, bukan muluk-muluk untuk mengaburkan pandangan kita tentang realitas masa kini yang kian menyedihkan, tapi lebih untuk rehat sejenak dari keletihan kita dan menikmati sedikit keindahan. (Oh ya, omong-omong, saya sedang membicarakan Andrés Segovia, John Williams, dan Julian Bream. Maklum saja, pengetahuan tentang gitar klasik masih kurang, jadi referensi masih sedikit)

Gitar klasik, yang saya pernah baca, pada awalnya kurang mendapat tempat dalam orkestra besar dibanding instrumen musik lain seperti violin, cello, string, timpani, dan lain-lain. Kurang lebih selama empat abad ia berjuang dengan repertoar nya sendiri, hingga akhirnya komposer-komposer besar seperti Gaspar Sanz, Fernando Sor, Francisco Tarrega, Andres Segovia sampai John Williams, bisa sedikit menaikkan kelas instrumen gitar hingga sebagai pertunjukan solo, baik dengan mentraskrip partitur instrumen lain ke lembar partitur gitar atau meng-compose sendiri karyanya. Mungkin karena karakter gitar itu sendiri yang mempunyai volume relatif kecil dan lebih lagi, ia sebuah alat musik yang paling tidak bisa diprediksi ( “you can never play exactly the same notes the way you played them before“, kurang lebih begitu kata William Kanengiser, guru gitar dari L.A ). Sebenarnya karena alasan yang sama juga mengapa gitar dalam sebuah big band jazz kurang diterima pada awalnya. Sedikit berbicara sejarah, pada tahun 1930-40an ada big band jazz bernama Benny Goodman Sextet, dipimpin oleh Goodman sendiri. Charlie Christian, seorang gitaris jazz, mencoba melamar dalam band itu. Goodman merasa tidak tertarik untuk memiliki gitar elektrik dalam band nya, tidak juga oleh gaya berpakaian Charlie. Ketika band sedang break, Charlie maju ke tengah panggung. Terdorong oleh dua keinginan, antara tidak ingin Charlie bergabung di band-nya dan tidak ingin ribut-ribut di lingkungan konser yang terkenal keras itu, Goodman memainkan “Rose Room” bersama bandnya yang dia harap Charlie tidak mengenali lagu itu. Namun apa yang terjadi adalah 45 menit improvisasi gitar yang menakjubkan, dan akhirnya Charlie diterima di band.

Kembali ke gitar klasik, untuk memainkannya, jujur saja, dibutuhkan disiplin yang cukup tinggi. Ada berbagai teknik yang benar-benar harus dilatih dengan serius, katakanlah free stroke dan rest stroke, lalu bagaimana menciptakan tone yang hangat dan penuh. Belum lagi yang namanya tremolo lalu rasgueado (duh… untuk menulisnya saja ribet). Kemudian bagaimana dengan sight reading (kemampuan membaca notasi yang penuh dengan simbol-simbol asing itu)? Aargh.. Itulah makanya banyak orang yang sudah mundur di depan, terlalu berat katanya. But, maybe that what life is all about. Harus disiplin dan kerja keras untuk berhasil. Kecuali kalau cuma ingin bisa genjreng-genjreng lagu Grow Old With You ketika propose sang idaman hati (curhat mode: ON), tidak perlu sekeras itu ^_^. Pada akhirnya buah kerja keras itu dapat kita lihat tidak hanya melalui komposer-komposer besar yang telah disebutkan di atas, para pemenang prize kompetisi gitar, atau di gedung-gedung konser saja. Bahkan di web penyedia video streaming pun tidak sedikit home recording gitaris-gitaris yang kelihatan teknik bergitarnya sangat baik. Entah mereka gitaris amatir, paruh-waktu, atau profesional, saya percaya itu hasil ketekunan mereka dalam mengasah tekniknya. Kembali lagi ke pribadi masing-masing, apakah hanya ingin sekedar bermain atau ingin benar-benar mengenal gitar klasik. Salah satu dianggap sudah cukup buat kita, tidak ada salah, toh tujuannya adalah memanjakan rasa.

Well, bagi saya pribadi, menambah pustaka pengetahuan, mengoreksi kesalahan teknik dan attitude, dan diskusi dengan teman-teman adalah daftar yang terus berlanjut. And thanks to those great musicians that some were mentioned above and those damn widely shared sources inside this virtual web.

Hey, how about the incomplete title? Masa bodo ah … orang lagi ngalur-ngidul kok.

-----------------

Cat.

tremolo= teknik memetik gitar secara simultan dengan menggunakan ibu jari (p), telunjuk (i), tengah (m), manis (a), dan beberapa kombinasinya.

rasguaedo= teknik strumming (bahasa keren dari “genjreng”) yang mengharuskan tiap jari meng-strum beberapa senar kemudian diikuti dengan jari berikutnya, kalau berhasil melakukannya akan menghasilkan suara triplet a la flamenco

Tidak ada komentar:

Posting Komentar